Pages

Powered by Blogger.

Wednesday, February 20, 2013

“Uang Cendol” dalam Pilgub Jawa Barat


Oleh Alfonsius Siringoringo



“Saya butuh kepercayaan dari masyarakat. Pemberian uang hanya akan memicu korupsi.” Demikianlah pernyataan salah satu calon gubernur Jabar dalam suatu media cetak nasional. Pernyataan sikap tersebut patut dipuji untuk menciptakan pemilu yang kita idam-idamkan, yaitu jujur, bersih, dan demokratis.

Untuk merealisasikannya, dibutuhkan kerja keras bagi Pemerintah, KPU maupun seluruh masyarakat Jabar. Dalam pemilu kali ini, pemprov menglontorkan dana sebesar Rp 1, 04 triliun kepada KPU Jabar. Dana tersebut akan terserap untuk proses pelaksanaan pemilu serta dibagikan kepada KPU, Panitia Pengawas Pemilu, dan pihak keamanan. Diharapkan pula, dengan dana sebesar itu, panitia pengawas dapat mengefektifkan dan mencegah tindakan politik uang.

Istilah Money Politic atau politik uang, tidak hanya membayangi pilgub Jabar. Begitu hebatnya si politik uang ini, sampai-sampai ia memiliki julukan tersendiri di tiap-tiap daerah. Di Jabar sendiri dikenal dengan istilah “uang cendol”, di Jawa Timur disebut dengan “uang ngarit” dan mungkin masih banyak julukan lainnya di tiap-tiap daerah.

Sungguh miris melihat fenomena demikian, dimana kerap kali terjadinya tindakan politik uang dalam setiap pilkada yang ada. Hal tersebut akan sangat merusak tatanan demokrasi kita yang sebenarnya. Pemimpin harus dipilih oleh rakyat bukan atas dasar uang, tetapi kemampuan dan kinerjanya yang baik. Hakekat seorang pemimpin pun seharusnya adalah untuk bekerja sepenuh hati dan melayani rakyatnya, bukan malah sebaliknya.

Jabar sebagai provinsi terbesar di Indonesia, dengan masyarakat yang memiliki pola pikir yang sudah maju, sudah seharusnya menerapkan pemilu yang demokratis. Dengan demikian, Jabar akan memberikan contoh yang baik pula bagi daerah-daerah lainnya untuk menciptakan pemilu yang diidam-idamkan masyarakat selama ini.

Untuk menciptakan pemilu yang bersih dari tindakan politik uang, dapat diantisipasi dengan memberikan peran yang ekstra kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selain itu, perlunya ditingkatkan syarat kualitas untuk menjadi calon kepala daerah, seperti pemahaman agama yang kuat dan sebagainya. Panwaslu pun harus memperketat audit dana kampanye dari tiap-tiap calon kepala daerah. Kemudian yang diperlukan selanjutnya adalah pemahaman dan pencerdasan politik yang mendalam kepada semua masyarakat, jauh sebelum diadakannya pemilu, melalui diskusi maupun seminar.

Saturday, December 22, 2012

Brutalisme di Kalangan Masyarakat


Dalam era reformasi, terjadi perubahan sosial yang sangat cepat di negeri ini, dimana masyarakat merasa lebih bebas untuk mengekspresikan dirinya dengan berbagai bentuk dan cara. Misalnya dalam nilai-nilai lama, orang lebih berorientasi pada kepatuhan dan budi pekerti yang baik, sedangkan nilai-nilai yang baru tumbuh adalah dimana orang lebih banyak untuk menganut kebebasan dan berorientasi pada materi. Dan di sinilah timbul cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat atau cara yang halal atau cara terobosan yang sulit diterima oleh masyarakat, seperti brutalisme, kekerasan serta berbagai bentuk kejahatan lainnya.

Pemahaman tentang demokrasi dan hak asasi manusia yang mengemuka hanya memanifestasikan sikap dan tindakan anarkisme dan brutalisme di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat mengendorkan tali perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Hal lain yang tidak boleh terlupakan, yaitu bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang memasuki masa transisi, dari masa sistem birokrasi kekuasaan ke arah masa sistem kerakyatan. Dalam masa transisi ini muncul proses demokratisasi masyarakat sipil yang menuntut peluang kebebasan, keterbukaan dan ruang gerak partisipasi politik seluruh anggota masyarakat melalui tema-tema perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia.

Melihat fenomena brutalisme yang kerap terjadi di kalangan masyarakat sekarang ini, membuat semua pihak wajib untuk berperan aktif, baik pemerintah, lembaga penegak hukum maupun seluruh masyarakat. Menurut Erich From, kekerasan dan brutalisme di abad modern ini bukan karena aspek bawaan, tetapi diciptakan oleh kondisi sosial. Misalnya, proses industrialisasi menciptakan keterasingan. Keterasingan lalu menciptakan pemujaan yang berlebihan terhadap idola. Dan pada saat seseorang mengidolakan sesuatu, ia kehilangan kontrol atas dirinya.[1]

Rentetan peristiwa yang dapat kita lihat selama ini di masyarakat, seolah-olah menunjukkan adanya pembiaran dan pelegalan aksi brutalisme di kalangan masyarakat. Seperti kasus yang terjadi kepada jemaat Ahmadiyah, pengrusakan kampung di Lampung, pengrusakan terhadap Busway di Jakarta, dan lain sebagainya, semakin menegaskan bahwa kurangnya peran penegak hukum maupun pemerintah dalam hal mencegah serta menanggulangi setiap bentuk kekerasan dan brutalisme.

Menurut aliran Taoisme, berbuat kebajikan artinya seseorang telah melakukan wu-wei, yakni tidak berbuat hal-hal, yang bertentangan dengan hukum alam, menjada keseimbangan hidup, berpegang pada pembawaan kodrat, dan hidup dalam kewajaran. Dengan berbuat kebajikan seseorang memiliki kekuatan moral, karena manusia dapat hidup bersama dan menghidupi sesamanya atas dasar kesucian hati yang murni ikhlas.[2]




[1]  Desantara Report. Vol I/ Edisi 9/ 2010
[2]  Studi tentang Etika, Iriyanto Widisuseno. Jurnal Hukum, Vol. XVII, No. 1 Maret 2007

Transnasional Crime



Transnasional Crime memiliki beberapa definisi, hal ini terkait dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, serta kepentingan yang menyebabkan beberapa Ahli merumuskan definisi Transnasional Crime serta Radikalisme sangat bervariasi, namun secara garis besar terdapat kata kunci yang dapat digunakan sebagai panduan dalam merumuskan pengertian Transnational Crime adalah:

1.    Suatu perbuatan sebagai suatu kejahatan.
2.    Terjadi antar Negara atau Lintas Negara.

Menurut G.O.W. Mueller “Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis mengenai ilmu tentang kejahatan, yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-bangsa bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu yang melampaui perbatasan internasional, melanggar hukum dari beberapa negara, atau memiliki dampak pada negara lain.

Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational crime adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara, sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-kejahatan yang sebenarnya nasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata. Demikian pula sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya sudah meliputi individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan politik. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah menentukan karakteristik apa saja yang termasuk dalam kategori kejahatan transnasional yaitu:
a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara;
b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain;
c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari satu negara; atau
d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam negara lainnya.

Sedangkan kejahatan transnasional hampir selalu berkaitan dengan kejahatan dengan motif finansial, yang membawa dampak terhadap kepentingan lebih dari satu negara. Kejahatan ini antara lain, perdagangan obat bius (drug trafficking), kejahatan terorganisir lintas batas negara (transborder organized criminal activity), pencucian uang (money laundering), kejahatan finansial (financial crimes), perusakan lingkungan secara disengaja (willful damage to the environment), dan lain-lain.

Dari kedua kata kunci tadi dapat dijelaskan bahwa Transnational Crime merupakan suatu kejahatan yang terjadi lintas Negara dalam pengertian bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan apabila terdapat piranti hukum yang dilanggar sehingga bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dirumuskan, dirancang, disiapkan, dilaksanakan dalam suatu Negara bisa saja bukan merupakan kejahatan namun ketika hasil kejahatan yang diatur, disiapkan melakukan lintas batas Negara untuk masuk ke yuridiksi Negara yang berbeda lantas dikategorikan sebagai kejahatan Transnasional Crime.