Kasus ini
diawali dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control (CDC) of the United States Department of
Health and Human Service dan National
Institutes of Health (NIH), bekerja sama dengan para ilmuwan Panama, untuk
mengambil contoh darah dari penduduk setempat (Guaymi), peneliti mengatakan
kepada orang yang akan diambil darahnya bahwa mereka terancam suatu penyakit
tertentu, sehingga pengambilan contoh darah itu merupakan salah satu upaya
penting untuk mengatasinya.
Salah seorang
wanita yang menderita Leukemia ditemukan bahwa dalam darahnya terdapat suatu
sel (T-cell) yang mempunyai kegunaan atau manfaat untuk menolak penyakit. Hasil
penelitian atas T-cell inilah, NIH mengajukan paten kepada USPTO (United States
Patent and Trademark Office) dan juga melalui mekanisme Patent Cooperation Treaty (PCT). NIH mengajukan paten tersebut
tanpa izin atau tanpa memberitahu wanita yang menjadi objek penelitian, juga
tidak memberitahu anggota suku Guaymi lainnya. Tidak juga kepada Pemerintah
Panama dan para ilmuwan yang bekerja sama dengan mereka, dan juga tanpa
mempertimbangkan sensitivitas budaya dan kepercayaan masyarakat Guaymi. Tentu saja
hal ini membuat marah berbagai pihak termasuk Isidro Acosta, Presiden dari General Congress of the Ngobe-Bugle (Guaymi),
ia menulis surat kepada Sekretaris USPTO dan GATT, menyatakan bahwa: “... making living cells ... patented private
property ... is against all Guaymi traditions and Laws”.[1]
Pada akhirnya,
pengajuan paten itu ditarik kembali oleh NIH, tetapi alasan penarikan itu agak
aneh, yaitu karena tingginya biaya untuk memperoleh paten tersebut.
[1]
Afrillyanna Purba, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Penerbit
PT Alumni, Bandung, 2012, hlm. 289
0 comments:
Post a Comment