Dalam
era reformasi, terjadi perubahan sosial yang sangat cepat di negeri ini, dimana
masyarakat merasa lebih bebas untuk mengekspresikan dirinya dengan berbagai
bentuk dan cara. Misalnya dalam nilai-nilai lama, orang lebih berorientasi pada
kepatuhan dan budi pekerti yang baik, sedangkan nilai-nilai yang baru tumbuh
adalah dimana orang lebih banyak untuk menganut kebebasan dan berorientasi pada
materi. Dan di sinilah timbul cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat
atau cara yang halal atau cara terobosan yang sulit diterima oleh masyarakat,
seperti brutalisme, kekerasan serta berbagai bentuk kejahatan lainnya.
Pemahaman
tentang demokrasi dan hak asasi manusia yang mengemuka hanya memanifestasikan
sikap dan tindakan anarkisme dan brutalisme di kalangan masyarakat yang pada
akhirnya dapat mengendorkan tali perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Hal
lain yang tidak boleh terlupakan, yaitu bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang
memasuki masa transisi, dari masa sistem birokrasi kekuasaan ke arah masa
sistem kerakyatan. Dalam masa transisi ini muncul proses demokratisasi
masyarakat sipil yang menuntut peluang kebebasan, keterbukaan dan ruang gerak
partisipasi politik seluruh anggota masyarakat melalui tema-tema perjuangan
demokrasi dan hak asasi manusia.
Melihat
fenomena brutalisme yang kerap terjadi di kalangan masyarakat sekarang ini,
membuat semua pihak wajib untuk berperan aktif, baik pemerintah, lembaga
penegak hukum maupun seluruh masyarakat. Menurut Erich From, kekerasan dan
brutalisme di abad modern ini bukan karena aspek bawaan, tetapi diciptakan oleh
kondisi sosial. Misalnya, proses industrialisasi menciptakan keterasingan.
Keterasingan lalu menciptakan pemujaan yang berlebihan terhadap idola. Dan pada
saat seseorang mengidolakan sesuatu, ia kehilangan kontrol atas dirinya.[1]
Rentetan
peristiwa yang dapat kita lihat selama ini di masyarakat, seolah-olah
menunjukkan adanya pembiaran dan pelegalan aksi brutalisme di kalangan
masyarakat. Seperti kasus yang terjadi kepada jemaat Ahmadiyah, pengrusakan
kampung di Lampung, pengrusakan terhadap Busway di Jakarta, dan lain
sebagainya, semakin menegaskan bahwa kurangnya peran penegak hukum maupun
pemerintah dalam hal mencegah serta menanggulangi setiap bentuk kekerasan dan
brutalisme.
Menurut
aliran Taoisme, berbuat kebajikan artinya seseorang telah melakukan wu-wei, yakni tidak berbuat hal-hal,
yang bertentangan dengan hukum alam, menjada keseimbangan hidup, berpegang pada
pembawaan kodrat, dan hidup dalam kewajaran. Dengan berbuat kebajikan seseorang
memiliki kekuatan moral, karena manusia dapat hidup bersama dan menghidupi
sesamanya atas dasar kesucian hati yang murni ikhlas.[2]