Pages

Powered by Blogger.

Thursday, April 19, 2012

HUKUM KEKELUARGAAN


Penulis: Alfonsius JP Siringoringo

Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang seorang dari yang lain. Pada umumnya ada akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan dengan ketunggalan leluhur; akibat-akibat hukum ini tidak semua sama di seluruh daerah, tetapi dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini di seluruh daerah, yaitu bahwasanya keturunan merupakan unsur yang esensial serta mutlak bagi suatu clan, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan.
Keturunan dapat bersifat:
·         Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain.
·         Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur.
Selain keturunan itu dapat bersifat lurus atau menyimpang, keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya. Tiap kelahiran merupakan satu tingkatan atau derajat, jadi misalnya seorang anak merupakan keturunan tingkat 1 dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat 2 dari kakeknya, aku dengan saudaraku sekandung merupakan hubungan kekeluargaan tingkat 2 dan lain sebagainya.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya, dibuatkan silsilah yaitu suatu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami/isteri, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah maupun yang menyimpang. Dari silsilah ini nampak jelas hubungan kekeluargaan yang ada di antara para warga keluarga yang bersangkutan. Dan hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor yang sangat penting dalam:
·         Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri.
·         Masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta peninggalan.

Hubungan Anak dan Orang tuanya
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah masyarakat adat. Maka sejak anak masih dalam kandungan hingga dilahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya disertai upacara adat yang bersifat relio-magis yang bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya dari segala bahaya dan gangguan dan menjadi anak yang dapat memenuhi harapan orangtuanya. Di samping upacara adat, diadakan pula sesajen demi keselamatan anak tersebut. Demikianlah perhatian orang tua terhadap anaknya hanya dengan satu tujuan, yaitu supaya anak senantiasa mendapat perlindungan dan berkah dari Yang Maha Kuasa dan leluhurnya serta memperoleh bantuan dari segala kekuatan gaib di sekelilingnya.
Tetapi sayangnya tidak semua kejadian berjalan dengan normal. Kita melihat dalam masyarakat adanya kejadian-kejadian abnormal sebagai berikut:
a.       Anak lahir di luar perkawinan.
Tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon, ibu yang melahirkan tersebut dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinannya yang sah. Tetapi di beberapa daerah lainnyaa ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anaknya, bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuan dan juga dibunuh ataupun dijadikan sebagai budak raja.
b.      Anak lahir karena hubungan zinah.
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, suaminya itu menjadi bapak anak yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh isterinya karena zinah ini.
c.       Anak lahir setelah perceraian.
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. Pada waktu yang lalu masih banyak dijumpai seorang laki-laki yang memelihara selir di samping isterinya sendiri.
Anak yang lahir dari selir-selir ini mempunyai kedudukan serta hak-hak yang tidak sama dengan anak-anak dari isteri. Anak-anak dari isteri mempunyai hak-hak lebih banyak. Hubungan anak dengan orang tua ini menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut; Larangan kawin antara anak-bapak atau anak-ibu dan saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.

Hubungan Anak Dengan Keluarga
Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia terdapat persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, bapak dan bapak-ibu.
Dalam garis keturunan bapak-ibu, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga dari pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya. Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaannya adalah unilateral, yaitu patrilineal atau matrilineal. Dalam persekutuan ini, maka hubungan antara anak dengan keluarga dari kedua belah pihak adalah tidak sama eratnya, derajatnya dan pentingnya.

Memelihara Anak Piatu
Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya, bapak atau ibunya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan pihak bapak-ibu orang tua yang masih hidup yang memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut.
Jika kedua-dua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga pihak bapak atau ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam hal ini, pada umumnya sangat menentukan lingkungan di mana anak tersebut semasa masih hidupnya orang tua diasuh, kalau pengasuhan sebelumnya dilakukan dalam lingkungan keluarga pihak ibu, maka setelah ditinggalkan orang tuanya, anak-anak yang belum dewasa itu sudah biasa hidup di kalangan kerabat pihak ibu, sehingga mengingat akan hal ini, demi kepentingan anak-anak sendiri lazimnya pemeliharaan seterusnya dilakukan oleh seorang warga keluarga pihak ibu. Dan demikian halnya juga apabila sebelumnya pemeliharaan anak-anak dilakukan dalam lingkungan kerabat pihak bapak. Anak yang sudah besar pada umumnya memilih sendiri ingin selanjutnya dipelihara oleh siapa.

Mengangkat Anak (Adopsi)
Adopsi adalah  suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Perbuatan mengangkat anak demikian ini adalah merupakan gejala yang umum dalam negara Indonesia. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatan anak yang berikut:
a.       Mengangkat anak bukan warga keluarga
Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat. Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula.
Alasan adopsi adalah pada umumnya takut tidak ada keturunan. Kedudukan hukum daripada anak yang diangkat demikian adalah sama dengan anak kandung daripada suami-isteri yang mengangkat ia, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus. Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.
b.      Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang. Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapiakhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar clan itu. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak dari lingkungan keluarga isteri (pradana).
Dalam keluarga dengan selir-selir (gundik), maka apabila isteri tidak mempunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat dijadikan anak isterinya.
c.       Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan
Mengangkat keponakan menjadi anak itu sesungguhnya merupakan pergeseran  hubungan kekeluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran-pembayaran uang ataupun penyerahan sesuatu barang kepada orang tua anak yang bersangkutan yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari orang yang memungut anak.
Selain dari pada pengangkatan anak seperti tersebut, masih dikenal juga pemungutan anak yang maksud serta tujuannya bukan semata-mata untuk memperoleh keturunan, melainkan lebih dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut itu yang lebih baik dan menguntungkan daripada yang dimiliki semula.
Perbuatan-perbuatan yang demikian ini adalah misalnya:
a.       Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki isterinya. Perbuatan hukum ini sangat menguntungkan anak yang bersangkutan sebab anak tersebut dengan pengangkatan itu menjadi memperoleh hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya.
b.      Mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri karena tidak mempunyai anak sendiri.

0 comments:

Post a Comment