Penulis: Alfonsius JP Siringoringo
Ø Beberapa
Macam Sejarah Hukum Adat
Sejarah
hukum adat dapat dipisah-pisahkan dalam:
1. Sejarah
proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.
2. Sejarah
hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal
dalam dunia ilmu pengetahuan.
3. Sejarah
kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum, di dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia.
Ø Proses
Perkembangan Hukum Adat
Adat-istiadat
yang sudah hidup dalam masyarakat pra-Hindu menurut ahli hukum adalah merupakan
adat-adat Melayu-Polinesia. Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan
kultur Kristen yang mempengaruhi kultur asli tersebut. Keadaan serta kenyataan
hukum adat yang hidup pada rakyat itu merupakan hasil akulturasi antara
peraturan adat-istiadat jaman pra-Hindu dengan peraturan hidup yang dibawa oleh
kultur Hindu, Islam dan Kristen.
Ø Kitab-Kitab
Hukum Kuno Dan Peraturan-Peraturan Asli Lainnya
Dengan
terdapatnya kitab-kitab pada zaman dulu, seperti Civacasana, Gajahmada, Adigama
dan Kutaramanava, maka jelaslah bahwa di Indonesia ini jauh sebelum orang
–orang Eropa datang ke Indonesia, telah memiliki sistem dan asas-asas hukumnya
sendiri yang khas, bahkan sebelum datangnya orang-orang Asia disini. Di samping
itu, dikenal juga peraturan-peraturan asli sebagai berikut:
-
Di Tapanuli : Ruhut Parsaorang di
Habatahon(kehidupan sosial di tanah Batak). Patik Dohot Uhum ni Halak Batak(Undang-Undang
dan ketentuan Batak).
-
Di Jambi : Undang-Undang Jambi.
-
Di Palembang : Undang-Undang
Simbur Cahaya(tentang tanah di dataran tinggi).
-
Di Minangkabau : Undang-Undang
nan dua puluh (tentang hukum adat delik).
-
Di Sulawesi Selatan : Buku undang-undang perniagaan dan pelayaran
dari suku Bugis Wajo.
-
Di Bali : Awig-awig(peraturan
Subak dan desa) dan agama desa yang ditulis di atas daun lontar.
-
Peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan yang dahulu pernah bertakhta di
negeri ini.
Van Vollenhoven menjelaskan bahwa tatkala kapal
pertama dengan bendera tiga bendera tiga warna(Belanda) berlabuh, Indonesia
bukan negara yang kosong akan tata-hukum, tetapi telah ditemukan kompleks
peraturan dari pelbagai tata-hukum.
Ø Teori
Receptio In Complexu
Mr
L.W.C. can den Berg menengahkan suatu teori tentang hukum adat yang disebut
teori receptio in complexu. Intinya : Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,
menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus
juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Jadi tegasnya menurut teori
ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, mka hukum adat
masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada
hal-hal yang menyimpang daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal
ini dianggapnya sebagai perkecualian/penyimpangan daripada hukum agama yang
telah in complexu genrecipieerd(diterima dalam keseluruhan) itu.
Teori
Van den Berg ini mendapat banyak kritikan dari sarjana sebangsanya, yaitu Prof.
Snouck Hurgronje, Mr. Van Ossenbruggen, Mr. I.A. Nedeburgh, Mr. C. van
Vollenhoven, Mr. Piepers, Mr. W.B. Bergsma dan Clive Day.
Untuk
meyakinkan bahwa teori Van den Berg tidak benar, Van Vollenhoven mengkritik hal
tersebut. Vollenhoven mengakui bahwa di dalam hukum adat banyak dipakai
istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti milik, adat,
ijaab/kabul, hibah dan lainnya. Tetapi istilah-istilah ini sesungguhnya hanya
ditempelkan saja, seperti halnya istilah-istilah Latin yang terdapat di dalam
hukum Belanda. Gambaran Van den Berg mengenai hukum adat yang melukiskan bahwa
hukum adat adalah terdiri dari hukum agama dengan penyimpangan-penyimpangannya,
tidak dapat diterima oleh Van Vollenhoven. Menurutny gambaran itu jauh berbeda
sekali dengan kenyataannya. Nyatanya hukum adat itu terdiri atas hukum
asli(Melayu-Polynesia) dengan ditambah di sana-sini ketentuan hukum agama.
Ø Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Proses Perkembangan Hukum Adat
Di
samping iklim dan kondisi alan dan juga watak bangsa, faktor terpenting yang
mempengaruhi proses perkembangan hukum adat yaitu, Magi dan animisme, Agama,
Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat, dan hubungan dengan
orang-orang ataupun kekuasaan asing.
a. Magi
dan Animisme. Alam pikiran magis dan animisme sesungguhnya dialami oleh tiap
bangsa di dunia. Hanya perkembangan alam pikiran serta pandangan hidup
seterusnya tiap bangsa mengalami proses sendiri-sendiri yang pada umumnya tidak
sama karena dipengaruhi berbagai hal. Di Indonesia, faktor magi dan animisme berpengaruh
begitu besar sehingga belum dapat hilang didesak oleh agama. Animisme bercabang
dua, yaitu fetisisme yang memuja jiwa-jiwa yang ada pada segala sesuatu dalam
alam semesta dan spiritisme yang memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya.
Menurut Mr. Is. H. Cassutto, pengaruh magi dan animisme terlihat dalam empat
hal, yaitu :
Pemujaan
roh-roh leluhur, Percaya adanya roh-roh jahat dan baik, Takut kepada hukuman
ataupun pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib, dan Dijumpainya di mana-mana
orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan
kekuatan-kekuatan gaib tersebut di atas.
b. Agama.
Dengan adanya berbagai aliran agama yang masuk di Indonesia, seperti Hindu,
Islam, Kristen, Buddha, dll, membuat tingkah laku masyarakat setidaknya berubah
dan tidak lagi berdasarkan adat mereka masing-masing. Orang yang telah memeluk
suatu agama, maka ia tunduk pada hukum dan peraturan dari agama tersebut dalam
hal apapun. Namun hal tersebut tidak semuanya berhasil, karena ada juga
masyarakat yang masih tetap tunduk pada hukum adat yang telah jelas-jelas
bertentangan dengan hukum agama tersebut. Seperti halnya dalam perkawinan,
setiap orang harus bertolak pada hukum perkawinan suatu agama yang dianutnya,
dan masih banyak juga masyarakat yang tetap mengikuti hukum perkawinan adanya
masing-masing, seperti masyarakat di Tapanuli, Minangkabau, Lampung, Batak, dan
lainnya.
c. Faktor
kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum adat.
Pengaruh
kekuasaan ini ada yang bersifat positif da negatif. Yang positif berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam wilayah kerajaannya,
sedangkan yang negatif berupa tindakan-tindakan yang menginjak-injak
ketentuan-ketentuan suatu persekutuan hukum. Kepala-kepala rakyat pada
hakikatnya adalah pembina-pembina hukum adat yang wajib memberikan petunjuk
serta pemecahannya apabila dihadapi masalah-masalah hukum dalam kehidupan
sehari-hari. Kepala rakyat harus sangat bijaksana, sebab kecerobohan sikapnya
dapat memberikan keputusan yang negatif, sebab tidak sesuai dengan keinginan
yang hidup pada rakyat, sehingga pengaruhnya akan sangat merugikan pada hukum
adat.
d. Hubungan
dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing.
Hukum adat
yang smula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing,
yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, menjadi terdesak demikian rupa, hingga
akhirnya praktis tinggal meliputi bidang Perdata material saja.
Lain daripada
itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang dan kekuasaan asing dalam
pergaulan hukumnya mempengaruhi pula perkembangan cara berpikir orang-orang
Indonesia. Sebagai salah satu hasil pengaruh alam pikiran Barat dalam hukum
adat adalah timbulnya proses individualisering, proses kebangkitan individu,
yang di kota-kota besar nampak dengan jelas berjalan lebih cepat daripada di
pedalaman.
Ø Sejarah
Hukum Adat Sebagai Sistem Hukum Dari Tidak/Belum Dikenal Hingga Sampai Dikenal
Dalam Dunia Ilmu Pengetahuan
Sebelum
zaman kompeni, tidak terdapat perhatian terhadap hukum adat. Dalam zaman
kompeni berulah bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat
Indonesia.
Zaman
Kompeni(1602-1800).
Apabila
kepentingan kompeni terganggu oleh hukum adat, maka kompeni menggunakan
kekuasaannya terhadap bangunan-bangunan asli/adat itu. Hal ini membawa akibat
bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung daripada keperluan
ketika itu. Jadi kompeni menjalankan politik oppurtuniteit.
Semula
kompeni membiarkan hukum adat sipil berlaku seperti sediakala. Kemudian
pengurus kompeni di negeri Belanda menetapkan perintah yang mengharuskan hukum
sipil Belanda diperlakukan di dalam daerah yang dikuasainya oleh kompeni.
Perintah pengurus kompeni tersebut baru pada tahun1625, tetapi dengan syarat
jika sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri
ini dapat dilakukan. Dengan diadakannya syarat-syarat tersebut, tersimpul
kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika keadaan memaksa.
Zaman
Daendels (1808-1811).
Daendels
tidak membuat perubahan-perubahan yang penting dalam hukum adat. Selama
pemerintahannya boleh dikatakan segala hukum penduduk tetap tinggal seperti
sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa bumiputera hukumnya sendiri. Jadi
pada zaman Daendels umumlah anggapan bahwa hukum adat terdiri atas hukum Islam.
Akan tetapi sebenarnya Daendels belum paham tentang corak dan sifatnya hukum
asli ini. Daendels menganggap derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat.
Menganggap hukum adat tidak cukup baik untuk Eropa.
Zaman
Raffles (1811-1816).
Raffles
sangat tertarik oleh keindahan dan kekayaan kepulauan Indonesia. Rafflles
membentuk panitia Mackenzie untuk mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat
Indonesia di pulau jawa. Buah pekerjaan panitia ini akan dijadikan dasar untuk
mengadakan perubahan yang pasti yang akan menentukan bentuk susunan
pemerintahannya lebih lanjut.
Raffles
menghormati hukum adat dikarenakan perasaan nasional mendorong Raffles untuk
mengambil contoh dari India. Raffles mengira bahwa hukum adat itu tidak lain
adalah hukum Islam. Hukum adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi
hukum Eropa, hukum adat dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi
tidak patut jika diperlakukan atas orang Eropa.
Zaman
Kolonial Belanda.
Setelah
Raffles,datang zaman Commissie Generaal (1816-1819) dengan penasehat Mr. Herman
Warner Muntinghe. Pada pokoknya Commissie Generaal tetap memperlakukan hukum
adat terhadap bangsa Indonesia seperti zaman Raffles.
Pada
saat Van der Capellen yang menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Commissie
Generaal dalam tahun1824 mengumumkan suatu peraturan untuk Sulawesi Selatan
dimana hukum adat sama sekali tidak mendapat perhatian. Du Bus yang
menggantikan Van der Capellen mempunyai pengertian, bahwa yang amat penting dan
utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli. Van den Bosch yang
menggantikan Du Bus mengatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum
Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramien dan Islam.
Dengan
demikian, maka hukum adat sudah tidak lagi terbatas hanya menarik perhatian
kaum penjajah saja, tetapi juga sudah tertarik perhatiannya kaum cerdik pandai
bangsa-bangsa asing lainnya.
Ø Pengertian
Dan Penghargaan Terhadap Hukum Adat Mulai Bertambah
Perhatian
serta inisiatif untuk lebih mempelajari hukum adat dari semua kalangan nampak
sekali sebagai berikut:
1. Kalangan
Staten General dalam soal-soal agraria.
2. Kalangan
Binnenlandsch Bestuur(Pamong-Praja) dalam soal-soal organisasi masyarakat desa
dan hukum adat tata negara.
3. Kalangan
Zending dalam soal-soal hukum kekeluargaan dan hukum waris.
4. Kalangan
ahli hukum dalam soal-soal perjanjian hukum kekayaan dan pertanyaan-pertanyaan
tentang hukum pidana
Meskipun begitu, masih dapat kekurangan terutama
tentang pengertian mengenai jalan pikiran Timur, pembagian penghargaan yang
sangat berlainan dengan penghargaan, pembagian dan jalan pikiran Barat.
Ø Memperdalam
Penyelidikan Hukum Adat Dilihat Dengan Kacamata Timur
Sampai
permulaan abad ke-20 tidak terdapat usaha-usaha penyorotan hukum adat dengan
kacamata Timur. Pekerjaan-pekerjaan dalam bidang adat yang pada masa itu perlu
dikemukakan,seperti: Wilken, F.A Liefrinck, dan Snouck Hurgronje.
Pada
abad ke-20 mulai hidup pengertian, bahwa penyelidikan hukum adat harus juga
dilihat dengan kacamata Timur, meninggalkan rasionalisme dan materialisme dari
abad yang lalu dan membuka mata terhadap ke-Timuran, terhadap hal-hal yang
tidak materialistis terhadap dunia religio-magis.
Periode
memperdalam pengertian hukum adat dengan teliti ini dikerjakan pula oleh: Balai
Perguruan Tinggi, Yayasan Adat, Pamong Praja, Zending dan Missie.
Di
Indonesia sendiri penyelidikan tentang hukum adat dilakukan oleh:
Djojodigoeno/Tirtawinata, Soepomo, maupun Hazairin.
0 comments:
Post a Comment