Pages

Powered by Blogger.

Thursday, April 19, 2012

SEJARAH HUKUM ADAT

Penulis: Alfonsius JP Siringoringo


Ø Beberapa Macam Sejarah Hukum Adat
Sejarah hukum adat dapat dipisah-pisahkan dalam:
1.    Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.
2.    Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
3.    Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum, di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Ø Proses Perkembangan Hukum Adat
Adat-istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat pra-Hindu menurut ahli hukum adalah merupakan adat-adat Melayu-Polinesia. Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang mempengaruhi kultur asli tersebut. Keadaan serta kenyataan hukum adat yang hidup pada rakyat itu merupakan hasil akulturasi antara peraturan adat-istiadat jaman pra-Hindu dengan peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, Islam dan Kristen.
Ø Kitab-Kitab Hukum Kuno Dan Peraturan-Peraturan Asli Lainnya
Dengan terdapatnya kitab-kitab pada zaman dulu, seperti Civacasana, Gajahmada, Adigama dan Kutaramanava, maka jelaslah bahwa di Indonesia ini jauh sebelum orang –orang Eropa datang ke Indonesia, telah memiliki sistem dan asas-asas hukumnya sendiri yang khas, bahkan sebelum datangnya orang-orang Asia disini. Di samping itu, dikenal juga peraturan-peraturan asli sebagai berikut:
-         Di Tapanuli : Ruhut Parsaorang di Habatahon(kehidupan sosial di tanah Batak). Patik Dohot Uhum ni Halak Batak(Undang-Undang dan ketentuan Batak).
-         Di Jambi : Undang-Undang Jambi.
-         Di Palembang : Undang-Undang Simbur Cahaya(tentang tanah di dataran tinggi).
-         Di Minangkabau : Undang-Undang nan dua puluh (tentang hukum adat delik).
-         Di Sulawesi Selatan :  Buku undang-undang perniagaan dan pelayaran dari suku Bugis Wajo.
-         Di Bali : Awig-awig(peraturan Subak dan desa) dan agama desa yang ditulis di atas daun lontar.
-         Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan yang dahulu pernah bertakhta di negeri ini.
Van Vollenhoven menjelaskan bahwa tatkala kapal pertama dengan bendera tiga bendera tiga warna(Belanda) berlabuh, Indonesia bukan negara yang kosong akan tata-hukum, tetapi telah ditemukan kompleks peraturan dari pelbagai tata-hukum.
Ø Teori Receptio In Complexu
Mr L.W.C. can den Berg menengahkan suatu teori tentang hukum adat yang disebut teori receptio in complexu. Intinya : Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Jadi tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, mka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal ini dianggapnya sebagai perkecualian/penyimpangan daripada hukum agama yang telah in complexu genrecipieerd(diterima dalam keseluruhan) itu.
Teori Van den Berg ini mendapat banyak kritikan dari sarjana sebangsanya, yaitu Prof. Snouck Hurgronje, Mr. Van Ossenbruggen, Mr. I.A. Nedeburgh, Mr. C. van Vollenhoven, Mr. Piepers, Mr. W.B. Bergsma dan Clive Day.
Untuk meyakinkan bahwa teori Van den Berg tidak benar, Van Vollenhoven mengkritik hal tersebut. Vollenhoven mengakui bahwa di dalam hukum adat banyak dipakai istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti milik, adat, ijaab/kabul, hibah dan lainnya. Tetapi istilah-istilah ini sesungguhnya hanya ditempelkan saja, seperti halnya istilah-istilah Latin yang terdapat di dalam hukum Belanda. Gambaran Van den Berg mengenai hukum adat yang melukiskan bahwa hukum adat adalah terdiri dari hukum agama dengan penyimpangan-penyimpangannya, tidak dapat diterima oleh Van Vollenhoven. Menurutny gambaran itu jauh berbeda sekali dengan kenyataannya. Nyatanya hukum adat itu terdiri atas hukum asli(Melayu-Polynesia) dengan ditambah di sana-sini ketentuan hukum agama.
Ø Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Perkembangan Hukum Adat
Di samping iklim dan kondisi alan dan juga watak bangsa, faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat yaitu, Magi dan animisme, Agama, Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat, dan hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing.
a.     Magi dan Animisme. Alam pikiran magis dan animisme sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia. Hanya perkembangan alam pikiran serta pandangan hidup seterusnya tiap bangsa mengalami proses sendiri-sendiri yang pada umumnya tidak sama karena dipengaruhi berbagai hal. Di Indonesia, faktor magi dan animisme berpengaruh begitu besar sehingga belum dapat hilang didesak oleh agama. Animisme bercabang dua, yaitu fetisisme yang memuja jiwa-jiwa yang ada pada segala sesuatu dalam alam semesta dan spiritisme yang memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya. Menurut Mr. Is. H. Cassutto, pengaruh magi dan animisme terlihat dalam empat hal, yaitu :
Pemujaan roh-roh leluhur, Percaya adanya roh-roh jahat dan baik, Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib, dan Dijumpainya di mana-mana orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut di atas.
b.    Agama. Dengan adanya berbagai aliran agama yang masuk di Indonesia, seperti Hindu, Islam, Kristen, Buddha, dll, membuat tingkah laku masyarakat setidaknya berubah dan tidak lagi berdasarkan adat mereka masing-masing. Orang yang telah memeluk suatu agama, maka ia tunduk pada hukum dan peraturan dari agama tersebut dalam hal apapun. Namun hal tersebut tidak semuanya berhasil, karena ada juga masyarakat yang masih tetap tunduk pada hukum adat yang telah jelas-jelas bertentangan dengan hukum agama tersebut. Seperti halnya dalam perkawinan, setiap orang harus bertolak pada hukum perkawinan suatu agama yang dianutnya, dan masih banyak juga masyarakat yang tetap mengikuti hukum perkawinan adanya masing-masing, seperti masyarakat di Tapanuli, Minangkabau, Lampung, Batak, dan lainnya.
c.     Faktor kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum adat.
Pengaruh kekuasaan ini ada yang bersifat positif da negatif. Yang positif berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam wilayah kerajaannya, sedangkan yang negatif berupa tindakan-tindakan yang menginjak-injak ketentuan-ketentuan suatu persekutuan hukum. Kepala-kepala rakyat pada hakikatnya adalah pembina-pembina hukum adat yang wajib memberikan petunjuk serta pemecahannya apabila dihadapi masalah-masalah hukum dalam kehidupan sehari-hari. Kepala rakyat harus sangat bijaksana, sebab kecerobohan sikapnya dapat memberikan keputusan yang negatif, sebab tidak sesuai dengan keinginan yang hidup pada rakyat, sehingga pengaruhnya akan sangat merugikan pada hukum adat.
d.    Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing.
Hukum adat yang smula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing, yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, menjadi terdesak demikian rupa, hingga akhirnya praktis tinggal meliputi bidang Perdata material saja.
Lain daripada itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang dan kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya mempengaruhi pula perkembangan cara berpikir orang-orang Indonesia. Sebagai salah satu hasil pengaruh alam pikiran Barat dalam hukum adat adalah timbulnya proses individualisering, proses kebangkitan individu, yang di kota-kota besar nampak dengan jelas berjalan lebih cepat daripada di pedalaman.
Ø Sejarah Hukum Adat Sebagai Sistem Hukum Dari Tidak/Belum Dikenal Hingga Sampai Dikenal Dalam Dunia Ilmu Pengetahuan
Sebelum zaman kompeni, tidak terdapat perhatian terhadap hukum adat. Dalam zaman kompeni berulah bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat Indonesia.
Zaman Kompeni(1602-1800).
Apabila kepentingan kompeni terganggu oleh hukum adat, maka kompeni menggunakan kekuasaannya terhadap bangunan-bangunan asli/adat itu. Hal ini membawa akibat bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung daripada keperluan ketika itu. Jadi kompeni menjalankan politik oppurtuniteit.
Semula kompeni membiarkan hukum adat sipil berlaku seperti sediakala. Kemudian pengurus kompeni di negeri Belanda menetapkan perintah yang mengharuskan hukum sipil Belanda diperlakukan di dalam daerah yang dikuasainya oleh kompeni. Perintah pengurus kompeni tersebut baru pada tahun1625, tetapi dengan syarat jika sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat dilakukan. Dengan diadakannya syarat-syarat tersebut, tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika keadaan memaksa.


Zaman Daendels (1808-1811).
Daendels tidak membuat perubahan-perubahan yang penting dalam hukum adat. Selama pemerintahannya boleh dikatakan segala hukum penduduk tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa bumiputera hukumnya sendiri. Jadi pada zaman Daendels umumlah anggapan bahwa hukum adat terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi sebenarnya Daendels belum paham tentang corak dan sifatnya hukum asli ini. Daendels menganggap derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Menganggap hukum adat tidak cukup baik untuk Eropa.
Zaman Raffles (1811-1816).
Raffles sangat tertarik oleh keindahan dan kekayaan kepulauan Indonesia. Rafflles membentuk panitia Mackenzie untuk mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat Indonesia di pulau jawa. Buah pekerjaan panitia ini akan dijadikan dasar untuk mengadakan perubahan yang pasti yang akan menentukan bentuk susunan pemerintahannya lebih lanjut.
Raffles menghormati hukum adat dikarenakan perasaan nasional mendorong Raffles untuk mengambil contoh dari India. Raffles mengira bahwa hukum adat itu tidak lain adalah hukum Islam. Hukum adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa, hukum adat dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diperlakukan atas orang Eropa.
Zaman Kolonial Belanda.
Setelah Raffles,datang zaman Commissie Generaal (1816-1819) dengan penasehat Mr. Herman Warner Muntinghe. Pada pokoknya Commissie Generaal tetap memperlakukan hukum adat terhadap bangsa Indonesia seperti zaman Raffles.
Pada saat Van der Capellen yang menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Commissie Generaal dalam tahun1824 mengumumkan suatu peraturan untuk Sulawesi Selatan dimana hukum adat sama sekali tidak mendapat perhatian. Du Bus yang menggantikan Van der Capellen mempunyai pengertian, bahwa yang amat penting dan utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli. Van den Bosch yang menggantikan Du Bus mengatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramien dan Islam.
Dengan demikian, maka hukum adat sudah tidak lagi terbatas hanya menarik perhatian kaum penjajah saja, tetapi juga sudah tertarik perhatiannya kaum cerdik pandai bangsa-bangsa asing lainnya.
Ø Pengertian Dan Penghargaan Terhadap Hukum Adat Mulai Bertambah
Perhatian serta inisiatif untuk lebih mempelajari hukum adat dari semua kalangan nampak sekali sebagai berikut:
1.    Kalangan Staten General dalam soal-soal agraria.
2.    Kalangan Binnenlandsch Bestuur(Pamong-Praja) dalam soal-soal organisasi masyarakat desa dan hukum adat tata negara.
3.    Kalangan Zending dalam soal-soal hukum kekeluargaan dan hukum waris.
4.    Kalangan ahli hukum dalam soal-soal perjanjian hukum kekayaan dan pertanyaan-pertanyaan tentang hukum pidana
Meskipun begitu, masih dapat kekurangan terutama tentang pengertian mengenai jalan pikiran Timur, pembagian penghargaan yang sangat berlainan dengan penghargaan, pembagian dan jalan pikiran Barat.
Ø Memperdalam Penyelidikan Hukum Adat Dilihat Dengan Kacamata Timur
Sampai permulaan abad ke-20 tidak terdapat usaha-usaha penyorotan hukum adat dengan kacamata Timur. Pekerjaan-pekerjaan dalam bidang adat yang pada masa itu perlu dikemukakan,seperti: Wilken, F.A Liefrinck, dan Snouck Hurgronje.
Pada abad ke-20 mulai hidup pengertian, bahwa penyelidikan hukum adat harus juga dilihat dengan kacamata Timur, meninggalkan rasionalisme dan materialisme dari abad yang lalu dan membuka mata terhadap ke-Timuran, terhadap hal-hal yang tidak materialistis terhadap dunia religio-magis.
Periode memperdalam pengertian hukum adat dengan teliti ini dikerjakan pula oleh: Balai Perguruan Tinggi, Yayasan Adat, Pamong Praja, Zending dan Missie.
Di Indonesia sendiri penyelidikan tentang hukum adat dilakukan oleh: Djojodigoeno/Tirtawinata, Soepomo, maupun Hazairin.


0 comments:

Post a Comment